Paket Wisata Solo – Selain makanannya, Kota Solo yang terletak di Jawa Tengah juga terkenal dengan berbagai tradisi dan ritual yang masih ada. Wisata di Solo memiliki banyak icon budaya dan tradisi. Citra Kota Solo yang kental akan kebudayaan Jawa terangkat dengan baik menggunakan slogan “Solo The Spirit of Java”.
Sejumlah tradisi ritual tradisional masih dilestarikan bahkan di era modern. Ini dilakukan untuk menunjukkan rasa syukur atas rezeki dan nikmat yang diberikan Tuhan. Untuk menjaga keberagaman dan kerukunan, masyarakat juga melestarikan tradisi secara turun-menurun.
Jika berencana menghabiskan liburan di Solo, tidak ada salahnya untuk mengenal lebih dalam beberapa tradisi yang masih dilakukan. Apa saja tradisi budaya Solo yang masih dilakukan? Simak penjelasannya berikut ini.
Sekaten
Sekaten adalah acara tahunan Keraton Solo yang diadakan menjelang Maulid Nabi Muhammad. Terdapat Grebeg Maulid yang menjadi puncaknya dengan membagikan gunungan berisi makanan mentah seperti sayuran dan makanan matang seperti buah-buahan. Pasar malam juga bagian perayaan Sekaten selama beberapa pekan.
Tradisi yang melekat pada acara Sekaten adalah menabuh gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari sebagai tanda dimulainya Sekaten. Ada juga kebiasaan mengunyah daun sirih atau nginang. Sedangkan yang terakhir yaitu makan telur asin.
Sejarah Sekaten bermula pada tahun 1477 ketika Raden Patah membangun Masjid Demak. Untuk menarik perhatian masyarakat, syiar Islam diadakan selama tujuh hari menjelang kelahiran Nabi Muhammad.
Kirab Malam 1 Sura
Sejarah menunjukkan bahwa Sultan Agung sebagai penguasa Kerajaan Mataram Islam adalah orang pertama yang mengadakan perayaan malam satu Sura ini. Kirab Malam 1 Sura dilakukan saat itu untuk merayakan pergantian tahun baru Islam.
Tapa bisu, tirakatan, kungkum, kirab budaya, dan mencuci benda pusaka adalah ritual yang dilakukan saat Malam Satu Sura. Ritual Kirab Malam Satu Sura Solo unik karena melibatkan kerbau yang disebut kebo bule, yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
Grebeg Sudiro
Pada tahun 2007 lalu, metode akulturasi Tionghoa dan Jawa yang pertama kali melahirkan budaya yang disebut Grebeg Sudiro. Ritual ini berasal dari tradisi sebelumnya yaitu Buk Teko yang berarti tradisi syukuran menjelang Imlek.
Pada masa kekuasaan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana X, masyarakat Kota Solo mulai melaksanakan ritual Buk Teko. Sekarang, masyarakat Kota Solo mengadakan ritual ini sebagai salah satu acara tahunan. Mereka melakukannya untuk memperkuat ikatan persaudaraan di antara sesama, menggabungkan seluruh masyarakat tanpa memandang suku, agama, atau ras mereka.
Sadranan
Tidak hanya di Solo, sadranan biasanya juga dilakukan masyarakat daerah Jawa lainnya. Biasanya penyebutan lain dari tradisi ini adalah Ruwahan. Menjelang bulan Ramadhan atau Sya’ban orang melakukan ritual ini.
Pada awalnya, masyarakat Hindu dan Buddha pada abad ke-15 melakukan Sadranan untuk memuja roh. Seiring dengan berkembangnya Islam, tujuan Sadranan pun berubah. Orang-orang melaksanakan ritual ini sebagai permohonan kepada Allah, seperti yang dilakukan oleh Wali Songo, dengan tujuan mendoakan leluhur mereka yang telah meninggal.
Mereka memohon agar Allah mengampuni dosa-dosa leluhur, menerima amal baik mereka, dan menempatkan mereka di tempat yang layak di sisi-Nya. Hingga saat ini, masyarakat di Kota Solo masih melestarikan tradisi Sadranan ini.
Tari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang menjadi ritual yang masih dilakukan oleh Keraton Solo dengan menyimpan sejuta misteri. Sepanjang sejarah Kerajaan Mataram, tidak ada tarian yang lebih sakral daripada ini. Tarian ini hanya dimainkan sekali setahun untuk memperingati kenaikan takhta sang raja.
Bedhaya Ketawang memiliki cerita percintaan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kencana Hadisari juga dikenal sebagai Ratu Pantai Selatan. Tari itu berdurasi sekitar dua jam dan terdiri dari tiga bait cerita.
Bedhaya Ketawang dibawakan oleh sembilan perempuan. Jumlah itu menunjukkan sembilan lubang yang ada di tubuh manusia. Para penari memakai pakaian dan riasan yang mirip dengan pengantin.
Pakaian pengantin putri menjadi inspirasi dari pakaian bendara bedhaya. Selain itu, dikenakan sebuah dodot atau basahan dengan gambar berbagai hewan yang menghadap ke telaga.
Nah, itu informasi terkait budaya yang masih dilestarikan di Solo hingga saat ini. Jadi, apakah kamu tertarik mempelajari dan mengenal lebih dalam terkait budaya tersebut? Tunggu apalagi, yuk berwisata ke Solo sambil belajar budaya-budaya tersebut!