Tour Malang – Malang bukan hanya memanjakan mata dengan panorama alamnya yang memukau, tetapi juga menyimpan kekayaan budaya yang terjaga melalui tradisi turun-temurun. Di tengah modernisasi yang kian pesat, tradisi ini menjadi jembatan penghubung masa lalu dan masa kini, serta memperkaya keberagaman budaya khas kota Malang.
Dari upacara adat hingga perayaan tahunan, setiap tradisi yang dijalankan pasti terkandung cerita dan makna mendalam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari penduduknya. Berikut ada beberapa tradisi yang masih dilestarikan dan terus berkembang di Malang.
Grebeg Tirto Aji
Grebeg Tirto Aji merupakan ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Tengger di Malang. Upacara adat ini diadakan dalam rangka menyambut datangnya hari besar Yadya Kasada yang diperingati setiap hari ke-14 bulan Kasada. Dalam ritual ini, masyarakat Tengger mengarak jampana yang berisi berbagai macam buah dan sayuran hasil panen mereka menuju pendopo Pemkab malang.
Setelah prosesi arak-arakan selesai, acara dilanjutkan dengan persembahan Tari Tujuh Bidadari yang memiliki simbolisme pengambilan air, yang dipentaskan di Sendang Widodaren Wendit. Pada acara ini, Bupati Malang mengambil air suci yang diberikan kepada warga sambil disaksikan oleh ketua adat Suku Tengger.
Ritual ini dilanjutkan dengan prosesi syukuran yang ditandai dengan pembacaan doa meminta keberkahan dan perlindungan bagi seluruh masyarakat. Acara Grebeg Tirto Aji diakhiri dengan kemeriahan dan antusiasme masyarakat dalam memperebutkan jempana buah dan sayuran serta nasi tumpeng.
Pawai Hewan Kurban
Pawai Hewan Kurban yang diselenggarakan setiap tahun di Kota Malang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tradisi peringatan Idul Adha. Setiap tahunnya, acara ini dilakukan setelah shalat ied dengan mempertontonkan ratusan hewan kurban yang diarak keliling kampung. Tujuannya agar hewan kurban lebih bugar sebelum disembelih.
Menurut warga setempat, tradisi ini sudah diwariskan secara turun-temurun yang dimulai sejak awal tahun 1970-an. Semua warga dari berbagai kalangan, dari yang tua hingga yang muda, turut serta dalam memeriahkan acara ini. Tak jarang pula ada wisatawan yang menyempatkan mampir berkunjung ke Malang untuk menyaksikan keunikan arak-arakan tersebut.
Selain memperkaya budaya lokal, pawai ini juga dijadikan sebagai ajang untuk meningkatkan rasa kebersamaan dan solidaritas antar warga. Melalui keikutsertaan semua lapisan masyarakat, tradisi ini tetap terjaga keasliannya dan menjadi salah satu ciri khas Kota Malang yang patut dilestarikan.
Festival Satu Suro Kawi
Festival Satu Suro Kawi atau bisa disebut juga dengan kirab sesaji, merupakan sebuah tradisi yang diselenggarakan untuk memperingati datangnya Tahun Baru Islam atau Satu Muharam.
Tradisi memperingati Satu Suro sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya masyarakat Jawa, dimana setiap elemen dalam ritual ini selalu memiliki kekayaan simbolik dan makna spiritual yang dalam.
Di Malang, Festival Satu Suro Kawi dilakukan dengan mengelilingi Desa Wonosari, yang terletak di sekitar kawasan Gunung Kawi. Masyarakat yang berpartisipasi dalam ritual tersebut diwajibkan untuk mengenakan pakaian adat Jawa sambil membawa beragam sesaji yang nantinya akan dibawa menuju makam leluhur Eyang Djugo dan RM Iman Soedjono yang terletak di Pesarean Gunung Kawi.
Eyang Djugo dan Iman Soedjono ini merupakan tokoh besar yang berjasa dalam membuka lahan hutan di Lereng Gunung Kawi. Keduanya tidak hanya dikenal sebagai ulama yang menyebarkan agama dan adat istiadat, tetapi juga ikut berperan dalam memimpin perjuangan Indonesia dalam melawan Belanda pada masa penjajahan.
Setibanya di lokasi, pemimpin upacara adat akan membacakan doa untuk para leluhur dan meminta keselamatan serta keberkahan bagi seluruh masyarakat.
Setelah menyelesaikan ritual dan doa, acara dilanjutkan dengan perebutan gunungan yang berisi aneka makanan dan tumpeng oleh masyarakat sekitar. Acara ini juga menampilkan parade budaya yang di dalamnya ada ogoh-ogoh Sangkala.
Pada puncak acara, ogoh-ogoh berwujud buto yang menunggangi singa akan dibakar di area makam, pembakaran ini dilakukan sebagai simbol pembakaran nafsu angkara murka yang ada di dalam diri manusia.
Ritual ini juga merupakan perwujudan simbol agar masyarakat hidup damai, serta dijauhkan dari sifat tamak dan dijauhkan dari semua malapetaka.